Yogyakarta kembali menjadi pusat eksperimen bunyi melalui Jogja Noise Bombing FEST (JNB FEST) 2025. Kolektif musik Jogja Noise Bombing (JNB), yang dikenal dengan pendekatan radikal terhadap Bunyi, menghadirkan festival tahunannya sebagai ruang pertemuan multidisiplin bagi seniman bunyi Dunia.
Selain pertunjukan, ajang ini juga menawarkan Percakapan, lokakarya, dan intervensi publik yang menantang batas penerimaan masyarakat terhadap kebisingan, sekaligus mengkritik homogenisasi Bunyi di ruang urban.
Sejak didirikan pada 2013, Jogja Noise Bombing FEST konsisten menjadikan ruang publik sebagai “laboratorium bunyi” Demi menguji bagaimana Bunyi eksperimental yang sering dianggap sebagai noise atau gangguan, dapat berinteraksi dengan lingkungan sosial. Metode yang mereka sebut Noise Bombing ini Kagak hanya bertujuan menciptakan gesekan estetis, tetapi juga memicu Cerminan tentang siapa yang berhak mendominasi lanskap sonik di tengah masyarakat.
Tahun ini, JNB FEST memperluas cakupannya dengan melibatkan 113 proposal partisipan dari 28 negara di lima benua, dikurasi oleh Ignatia Nilu (kurator ARTJOG) dan Tesla Manaf (musisi Kuntari). Keduanya menerapkan pendekatan inklusif dengan membagi kuota secara proporsional antara seniman Dunia South, Dunia North, Indonesia, dan Yogyakarta, menegaskan komitmen festival terhadap keadilan distribusi kesempatan dalam ekosistem bunyi eksperimental.
JNB FEST 2025 akan berlangsung dari 9 hingga 11 Mei di berbagai Letak strategis di Yogyakarta, bekerja sama dengan komunitas lokal seperti Ambient Evening, BRRRZ Studio, KOMBO, dan Tuesday Louder. Dua tempat Esensial, deCored Coffee & Eatery serta VRTX Compound Space, akan menjadi pusat pertunjukan, sementara kolaborasi dengan platform Eropa SHAPE+, akan menghadirkan sejumlah Selebriti Dunia ke Podium Jogja.
Serangkaian acara sebenarnya sudah dimulai lebih awal dengan program #InSine #2 pada 22 Maret di SINE Lab & Radio yang menampilkan empat musisi dari berbagai generasi: AVOID KROMMER, DN. AIDEATH, SCANTOFIA, dan WOK THE ROCK. Sesuai dengan konsep intimnya, pertunjukan ini diadakan di ruang berukuran 3×6 meter, sehingga menciptakan interaksi yang lebih personal antara seniman dan audiens.
Hari pertama festival, 9 Mei, akan dibuka dengan “Noise Bombing” di Sekeliling Jalan Jendral Sudirman—aksi yang melepaskan Bunyi eksperimental ke ruang terbuka sebagai bentuk intervensi publik. Kegiatan ini menjadi pengingat akan akar gerakan JNB: menghadirkan kebisingan ke area yang biasanya dipenuhi dengan rutinitas kota.
Setelah aksi tersebut, publik dapat mengunjungi pameran arsip “13 Years of Noiseparation” di VRTX Compound Space, yang merangkum dokumentasi perjalanan JNB sejak tahun 2013.
Pameran ini Kagak hanya menampilkan foto dan rekaman, tetapi juga artefak seperti poster, setlist, dan catatan kuratorial yang mencerminkan evolusi konseptual kolektif tersebut. Di tengah pameran, KOMBO menyajikan pertunjukan akustik yang memberikan kontras dengan kebisingan JNB, sebelum malam hari berlanjut ke pertunjukan Esensial di deCored.
Hari kedua (10 Mei) menampilkan lokakarya “XHABARABOT VOICE MACHINE (XVM)” yang dipandu oleh Rully Shabara dari duo Senyawa. Dalam XVM, Shabara mengeksplorasi potensi Bunyi tubuh Mahluk tanpa menggunakan instrumen eksternal, menggabungkan teknik vokal tradisional dengan manipulasi teknologi yang sederhana.
Lokakarya ini diikuti oleh Percakapan bertema “Negosiasi dan Relevansi Antara Bunyi dan Ruang Publik” yang menghadirkan Indra Menus (pendiri JNB), Septi OJK (Tuesday Louder), dan Daniel Bagas (Kelana Swara Ambarukmo). Percakapan ini membahas bagaimana bunyi eksperimental dapat bernegosiasi dengan kebijakan tata kota, serta peran komunitas dalam mengklaim ruang publik sebagai medium Aktualisasi diri.
Sementara itu, Times Pizzeria menjadi tuan rumah sesi “Ambient Evening”—kolaborasi antara JNB dan beberapa kolektif yang menawarkan musik ambient sebagai narasi alternatif terhadap intensitas noise. Menurut Tesla Manaf, kolaborasi ini dirancang Demi menunjukkan spektrum bunyi yang luas, dari yang meditatif hingga yang sengaja mengganggu. Malam itu ditutup kembali dengan pertunjukan di deCored, menampilkan kombinasi Selebriti lokal dan Dunia.
Hari terakhir (11 Mei) menjadi momen Krusial dengan berlanjutnya lokakarya XVM dan Percakapan performatif berjudul “Baca, Dengar, Bicarakan – Kebisingan Sebagai Aspirasi Bunyi”.
Krisna Widiathama dari SODADOSA berbagi tentang proses kreatifnya dalam menciptakan musik noise, sementara Gatot Danar Sulistiyanto, seorang Spesialis tata Bunyi, dan Andreas Siagian, pembuat instrumen elektronik, memberikan pandangan teknis dan filosofis. Percakapan ini mengeksplorasi noise sebagai bentuk aspirasi politik—bagaimana kebisingan dapat berfungsi sebagai alat Demi menantang struktur kekuasaan yang mengatur ruang auditori.
Acara ini ditutup dengan sesi “Ambient Evening” terakhir dan pertunjukan penutup di deCored, menegaskan Jogja Noise Bombing FEST 2025 sebagai platform yang Kagak hanya menyatukan seniman, tetapi juga melibatkan publik dalam dialog tentang Maksud kebisingan.
Melalui pendekatan lintas disiplin, festival ini menawarkan kritik terhadap standarisasi Bunyi di ruang urban, sekaligus membuka kemungkinan baru bagi bunyi sebagai medium Cerminan sosial-budaya.