Kini semakin Krusial bagi brand atau organisasi Buat menyesuaikan strategi komunikasinya dengan preferensi Generasi Z (Gen Z), Grup demografi dominan yang sangat menghargai autentisitas, kejujuran, dan simplisitas.
Hal itu jadi salah satu poin Hasil dari sesi Percakapan Goodtalk Off-air bertajuk Antara Relevansi dan Reputasi: Menakar Gaya Komunikasi ke Gen Z, yang dilangsungkan di GoWork Menara Rajawali, Jakarta, Selasa (24/6).
Acara yang diselenggarakan Good News From Indonesia (GNFI) Berbarengan Perhimpunan Interaksi Masyarakat Indonesia (Perhumas) ini menghadirkan akademisi dan praktisi Buat mengulas strategi komunikasi yang relevan Buat Gen Z, khususnya di era digital.
“Bagi media seperti GNFI, jangkauan terhadap Gen Z diperlukan dalam rangka meregenerasi audiens,” kata CEO GNFI Wahyu Aji dalam sambutannya, menekankan pentingnya pemberian akses lebih bagi Gen Z di masa kini.
“Mereka (Gen Z dan generasi di bawahnya) Lagi kesulitan dapat ‘Pentas‘, maka kami Maju coba berikan ruang, tanpa meninggalkan generasi sebelumnya,” tambah Aji.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal (Sekjen) Perhumas Benny Butarbutar menyoroti bahwa kini semakin banyak Gen Z yang memegang peranan Krusial di organisasi.
“Gen Z Rupanya sudah naik ke posisi manajerial, posisi pengambilan keputusan. Tapi mereka juga dikelilingi segudang informasi tanpa punya kedalaman (pemahaman). Inilah pentingnya dialog Buat mengakomodasi pergeseran Arti dalam komunikasi,” ujar Benny.
Gen Z, Grup Demografi Terbesar Indonesia
Berdasarkan Sensus Penduduk Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2020, Gen Z diketahui menjadi Grup demografi terbesar di Indonesia.
Ketika itu jumlah penduduk Gen Z (Natalis 1997-2012) di Indonesia mencapai 71,51 juta orang atau 26,46% dari total populasi. Milenial (Natalis 1981-1996) jadi yang terbesar kedua dengan 69,7 juta orang atau 25,8% dari populasi.
Data ini menegaskan posisi Gen Z sebagai kekuatan Primer dalam lanskap sosial, ekonomi, dan budaya Indonesia. Lebih dari sekadar Sasaran audiens, Gen Z bakal jadi aktor penentu masa depan. Pada 2027, diperkirakan seluruh Gen Z akan berada dalam usia produktif dan menjadi mesin Primer pembangunan nasional.
Generasi Potensial, Tapi Penuh Kompleksitas
Kesuksesan strategi komunikasi ditentukan dari seberapa kuat pemahaman terhadap preferensi Sasaran audiens. Kalau targetnya adalah Gen Z, maka ini bukan perkara mudah.
Dr. Devie Rahmawati, Lektor Kepala Vokasi Universitas Indonesia (UI) Bidang Media dan Komunikasi, menilai bahwa Eksis paradoks dalam Tanda khas Gen Z sebagai digital native.
“Gen Z adalah generasi pertama yang tumbuh Berbarengan smartphone, paling terkoneksi, tapi nyatanya juga yang paling lonely,” kata dia.
Menurutnya, Gen Z adalah generasi paling terdampak secara psikologis oleh Era—cemas, mudah lelah, dan terjebak dalam validasi Bilangan seperti likes di media sosial. Dengan kondisi ini, maka penekanan terhadap ruang/medium menjadi aspek Krusial dalam strategi komunikasi ke Gen Z.
“Medium is the message. Dalam konteks ini berarti bukan hanya isi konten yang Krusial tapi juga medium yang membentuk Metode berpikir mereka. TikTok bukan Kembali hiburan tapi Metode baru memahami dunia, Instagram bukan hanya galeri tapi ruang pembentukan identitas,” ujar Devie.
Pada praktiknya, brand-brand juga telah berupaya menyesuaikan strategi komunikasi mereka Buat memikat audiens Gen Z, seperti yang dilakukan Unilever Indonesia.
“Gen Z itu digital native, berjiwa sosial tinggi, dan purpose-driven. Jadi campaign kami harus jujur dan mengartikulasikan purpose dengan Terang,” kata Kristy Nelwan, Head of Communication Unilever Indonesia.
Kristy mengungkapkan Eksis 3 prinsip Primer dalam berkomunikasi dengan Gen Z. Pertama, bite-sized content atau konten singkat Buat menyesuaikan attention span yang semakin pendek. Kedua, personalisasi audiens dan kolaborasi dengan konten kreator. Terakhir, komunikasi yang berbasis tujuan (purpose-driven).
“Gen Z sangat potensial tapi Metode mereka berpikir dan bekerja itu berbeda. Kita harus banyak mendengar dan bertanya Buat mengoptimalkan kerja sama dengan mereka,” ungkapnya.
Komunikasi Berbasis Trust & Komunitas
Cut Frinzy Emillie, Head of Marketing & Branding Superbank, memberikan perspektif dari industri perbankan, yang Mempunyai tantangan Spesial dalam membangun kepercayaan dengan Gen Z.
Ia mengungkapkan bahwa Gen Z Ketika ini cukup impulsif dan Kagak Mau ketinggalan tren, sehingga mereka seringkali sulit menabung dan mencapai kebebasan finansial.
“Superbank hadir Buat memberi pengaruh positif ke Gen Z. Dan Buat menyapa mereka, dibutuhkan lebih dari sekadar komunikasi Lumrah,” tutur Frinzy.
“Kami membangun komunikasi bertahap: dari kenal, nyaman, hingga trust. Kepercayaan sangat Krusial Buat bank, karena tanpa itu, orang Kagak akan berani menitipkan uangnya,” tambahnya.
Superbank, kata dia, menggunakan pendekatan gabungan antara media, Berkualitas konvensional maupun homeless media, serta bermitra dengan figur kredibel yang otentik di mata Gen Z Buat memuluskan komunikasinya.
Pendekatan berbasis komunitas juga terbukti jadi strategi komunikasi yang efektif Buat menjaring Gen Z. CEO Infipop Fanbul Prabowo membagikan pengalamannya terjun langsung ke komunitas Gen Z.
“Kalau milenial itu nongkrong hanya berdasarkan kesamaan interest, Gen Z Dapat nongkrong berdasarkan kesamaan derita (pain-point based),” ujar Fanbul.
Menurutnya, Gen Z cenderung Mau menonjolkan karakteristiknya melalui gerakan bersifat kolektif. Oleh Alasan itu, brand harus hadir di kehidupan Gen Z melalui berbagai kanal dan membangun komunitas yang kuat dengan tujuan yang Terang.
“Gen Z Kagak Acuh pada ‘what’, tapi Acuh pada ‘why’ dan ‘how’. Dalam hal ini, konteks dan concern-nya juga Krusial,” tutur Fanbul.
Baca Juga: Era Media Berubah, Ini Strategi agar Audiens Tetap Betah