Adanya rencana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% pada 2025 menimbulkan berbagai kekhawatiran di kalangan masyarakat, terutama terkait dampaknya pada pengeluaran belanja.
Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI) dalam laporannya bertajuk Indonesia Economic Outlook 2025 menjelaskan bahwa kenaikan PPN berpotensi meningkatkan pengeluaran rumah tangga masyarakat miskin.
Sebelum terjadinya Covid-19 antara 2013-2019, dengan tarif PPN 10%, beban rata-rata PPN Demi 20% rumah tangga termiskin adalah 3,93%, sementara Demi 20% rumah tangga terkaya adalah sebesar 5,04%.
Selama era Covid-19, tarif PPN tetap 10%. Beban PPN Demi rumah tangga termiskin adalah 4,15%, sedangkan Demi rumah tangga terkaya sebesar 5,10%. Setelah adanya kenaikan tarif PPN menjadi 11% pada 2022-2023, beban PPN rumah tangga termiskin naik menjadi 4,79% dan yang terkaya sebesar 5,64%.
Kenaikan PPN pertama kali terjadi pada 2022 dengan berlakunya Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), dari 10% menjadi 11%. Adanya peningkatan ini memungkinkan terjadinya penurunan pendapatan yang lebih besar dibanding konsumsi, sehingga beban PPN terhadap total pengeluaran jadi meningkat.
Besaran Pengeluaran PPN Berdasarkan Kelas Pendapatan Masyarakat
Ekonom LPEM FEB UI, Teuku Riefky, menjelaskan bahwa pada progresivitas beban PPN terlihat Terang Demi dianalisis berdasarkan pada kelas pendapatan. Fenomena ini terjadi pada pra Covid-19 dengan tarif PPN 10% maupun setelah terjadi kenaikan menjadi 11%.
Peningkatan beban PPN seiring dengan perubahan tarif menunjukkan bahwa kelas pendapatan yang lebih tinggi tetap menanggung persentase beban yang lebih besar, meskipun adanya perbedaan antar Golongan Tetap terjaga.
Analisis data menunjukkan bahwa beban PPN cenderung meningkat seiring dengan kenaikan tarif PPN dari 10% menjadi 11%, dengan Akibat yang bervariasi berdasarkan Golongan pendapatan.
Pada Golongan miskin, beban PPN naik dari 3,85% (pra Covid-19) menjadi 4,03% selama Covid-19, dan mengalami kenaikan lebih lanjut menjadi 4,70% setelah tarif PPN mengalami kenaikan menjadi 11%.
Sementara itu, Golongan atas tetap menanggung beban PPN tertinggi dengan sedikit penurunan dari 6,25% (pra Covid-19) menjadi 6,11% selama Covid-19, tetapi naik menjadi 6,86% pada Demi PPN naik 11%.
Data ini menunjukkan bahwa beban tetap progresif, di mana Golongan berpendapatan lebih tinggi tetap menanggung proporsi pajak yang lebih besar dibandingkan dengan kelas berpendapatan rendah, meski Sekalian Golongan mengalami kenaikan beban pasca perubahan PPN.
Peningkatan tarif PPN menjadi 12% pada 2025 diperkirakan akan menambah beban bagi masyarakat. Tetapi, Menteri Keuangan, Sri Mulyani, telah menyatakan bahwa kenaikan ini merupakan amanat dari Undang-Undang No. 7 tahun 2021 tentang HPP.
“Jadi kami di sini sudah dibahas dengan bapak ibu sekalian sudah Terdapat UU-nya, kita perlu siapkan agar itu Dapat dijalankan (kenaikan PPN pada 2025), tapi dengan penjelasan yang Berkualitas sehingga kita tetap Dapat,” kata Sri Mulyani dalam kutipan Ekonomi Bisnis.
Konsekuensi dari Adanya Kenaikan PPN
Ketua Lumrah Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI), Alphonzus Widjaja, mengungkapkan bahwa kenaikan PPN 12% dapat memperburuk situasi, dampaknya akan terjadi kenaikan harga produk dan barang yang pada akhirnya mengurangi kemampuan masyarakat Demi berbelanja.
Daya beli masyarakat menjadi pendorong dari pertumbuhan ekonomi Indonesia. Ia khawatir akan adanya penurunan daya beli yang bakal menghambat Sasaran pemerintah Demi dapat mencapai pertumbuhan ekonomi sebesar 8%.
“Struktur masyarakat Indonesia kan didominasi oleh kelas menengah bawah. Artinya kalau ini terganggu, pertumbuhan ekonomi Indonesia juga terdampak. Karena pertumbuhan ekonomi Indonesia Dekat 57% didominasi oleh konsumsi rumah tangga. Jadi ini akan mempengaruhi tingkat pertumbuhan ekonomi Indonesia, padahal pemerintah punya Sasaran 8%,” jelasnya pada CNBC Indonesia.
Selain itu, Dampak dari kenaikan PPN dapat membebani rumah tangga yang Mempunyai Pendapatan rendah secara Bukan proporsional. Hal ini dapat memperburuk tingkat kemiskinan dan memperlebar kesenjangan sosial, sehingga mendorong lebih banyak orang ke bawah garis kemiskinan dan semakin membebani Golongan-Golongan yang rentan.
Ketua Lumrah Himpunan Peritel dan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo), Budihardjo Iduansjah, menyatakan bahwa para pengusaha secara kompak meminta pemerintah Demi dapat meninjau ulang adanya kebijakan peningkatan PPN. Kalau pemerintah tetap menaikan, mereka berharap Terdapat stimulus yang diberikan Demi menjaga daya beli masyarakat.
Menurutnya, meski telah tercantum dalam undang-undang, kebijakan ini Tetap Dapat diganti dengan Peraturan Presiden pengganti UU Demi sementara waktu.
“Memang ini adalah undang-undang, tapi kan mungkin Dapat dibantu dengan PERPU, mungkin peraturan Presiden pengganti undang-undang. Poinnya kami minta ditunda 1-2 tahun atau gimana, Sembari lihat situasi itu. Jangan dilakukan dulu di Januari 2025, karena waktu sangat mepet,” pungkasnya.
Baca Juga: Tarif PPN Indonesia Tertinggi ke-2 di Asia Tenggara